Selasa, 01 Januari 2013

hukum perdata


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam hukum perdata terdapat pengertian tentang perikatan. Perikatan tersebut meliputi sistem buku III BW, sumber perikatan, asas asas dalam hukum perikatan, macam – macam perikatan, syarat sah perjanjian, wanprestasi dan keadaan memaksa dan resiko.
Oleh karena itu didalam makalah kami ini akan membahas secara singkat
tentang  pengertian tersebut.

1.2 Pokok Pembahasan Masalah
Berangkat dari mengetahui tentang perikatan dalam hukum perdata di Indonesia,
Maka kami tertarik untuk membahas perihal :
1. Pengertian perikatan
2. Sistem buku III BW
3. Asas-asas dalam hukum perikatan, macam-macam perikatan
4. Syarat sah perjanjian, wanprestasi, keadaan memaksa dan resiko.

1.3 Tujuan Pembahasan Masalah
Adapun tujuan pembahasan masalah, yaitu untuk mengetahui dan menambah pengetahuan tentang perikatan dalam hukum perdata di Indonesia.









BAB II
PEMBAHASAN

HUKUM PERIKATAN
A. Pengertian Perikatan
Perikatan dalam bahasa Belanda disebut “Ver Bintenis”. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti, hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli barang. Dapat berupa peristiwa, misalnya lahirnya seorang bayi, meninggalnya seseorang. Dapat berupa keadaan, misalnya, letak rumah yang bersusun. Karena hal yang mengikat itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang-undang atau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi “akibat hukum”. Dengan demikian, perikatan yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu disebut hubungan hukum. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang hukum pribadi(pers onal law). Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan adalah suatu hubungan dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.
Beberapa sarjana juga telah memberikan pengertian mengenai perikatan yaitu:
Pitlo memberikan pengertian perikatan yaitu suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi.
pengertian perikatan menurut Hofmann adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang dari padanya (debitur atau pada debitur) mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu  terhadap pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu.
Istilah perikatan sudah tepat sekali untuk melukiskan suatu pengertian yang sama yang dimaksudkan verbintenis dalam bahasa Belanda yaitu suatu hubungan hukum antara dua pihak yang isinya adalah hak dan kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Dalam beberapa pengertian yang telah dijabarkan di atas, keseluruhan pengertian tersebut menandakan bahwa pengertian yang dimaksud adalah suatu pengertian yang abstrak, yaitu suatu hal yang tidak dapat dilihat tetapi hanya dapat dibayangkan dalam pikiran kita. Untuk mengkonkretkan pengertian perikatan yang abstrak maka perlu adanya suatu perjanjian. Oleh karena itu, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah demikian, bahwa perikatan itu dilahirkan dari suatu perjanjian.
B. Sistem Buku III B.W.
Buku III B.W. terdiri atas suatu bagian umum dan suatu bagian usus. Bagian umum memuat peraturan” yang berlaku bagi perikatan umumnya, misalnya tententang bagaimana lahir dan hapusnya perikatan, macam” perikatan dan sebagainya. Bagian husus memuat peraturan” mengenai perjanjian” yang banyak di pakai dalam masyarakat dan yang sudah mempunyai nama” tertentu misalnya jual beli, sewa menyewa, perjanjian perburuan dsb.
Buku III itu menganut asas “kebebasan” dalam hal membuat perjanjian (beginsel der kontractsvrijheid). Asas ini dapat di simpulkan dari pasal 1338, yang menerangkan bahwa segala perjanjian yang di buat adalah sah, berlaku sebagai UU bagi mereka yang membuatnya. Sebenarnya yang di maksudkan oleh pasal tersebut adalah tidak lain dari pernyataan bahwa tiap perjanjian mengikat kedua belah pihak. Tetapi dari peraturan ini, dapat di tarik kesimpulan bahwa orang leluasa untuk membuat perjanjian apa saja, asal tidak melangar ketertiban umum atau kesusilaan. Tidak saja orang leluasa untuk membuat perjanjin apa saja, asal tidak melanggar ketertiban umum yang di atur dalam bagian khusus buku III, tetapi pada umumnya juga di bolehkan menyampingkan peraturan-peraturan yang termuat dalam buku III itu. Dengan kata lain peraturan-peraturan yang di tetapkan dalam buku III B.W. itu hanya disediakan dalam hal para pihak yang berkontrak itu tidak membuat peraturan sendiri. Dengan kata lain peraturan-peraturan dalam buku III, pada umumnya merupakan “Hukum Pelengkap” (aanvullend recht), buka hukum keras atau hukum memaksa.
System yang di anut oleh buku III itu juga lazim dinamakan system “terbuka”, yang merupakan sebaliknya dari yang di anut oleh buku lll perihal hukum perbendan. Disitu orang tidak di perkenankan untuk membuat atau memperjanjikan hak-hak kebendaan lain, selain dari yang diatur dalam B.W. sendiri. Disitu dianut system “tertutup”.
      C.Sumber Perikatan
o Perikatan (Pasal 1233 KUHPerdata): Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
o Persetujuan (Pasal 1313 KUHPerdata): Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
o Undang-undang (Pasal 1352 KUHPerdata): Perikatan yang lahir karena undang-undang timbul dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.
D. Asas-asas Dalam Hukum Perikatan dan Macam-macam Perikatan
a) Azas-azas dalam hukum perikatan
Asas-asas dalam hukum perikatan diatur dalam Buku III KUHPerdata, yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.
Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Asas konsensualisme Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas. Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata.
b) Macam- macam Perikatan
Dalam kenyataanya ada beberapa macam perikatan yang dikenal dalam masyarakat menurut syarat yang ditentukan oleh pihak- pihak, atau menurut jenis prestasi yang harus dipenuhi, atau menurut jumlah subyek yang terlibat dalam perikatan itu.

a) Perikatan bersyarat, perikatan yang timbul dari perjanjian dapat berupa perikatan murni dan perikatan bersyarat.
b) Perikatan dengan ketetapan waktu
c) Perikatan alternative
d) Perikatan tanggung menanggung
e) Perikatan yang dapat dan tidak dapat dibagi
f) Perikatan dengan ancaman hukuman
g) Perikatan wajar
E. Syarat sah Perjanjian, Wanprestasi, Keadaan Memaksa dan Resiko
a.) Sayarat sah perjanjian
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah
1. Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut.
2. Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian Cakap untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak harus cakap menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan.
3. Mengenai Suatu Hal Tertentu Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak.
4. Suatu sebab yang Halal Suatu sebab yang halal, artinya isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.
b.) Perihal resiko wanprestasi, dan keadaan memaksa
a. Perihal resiko
Kata resiko berarti kewajiban untuk memikul kerugian jikalau ada suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang dimaksudkan dalam perjanjian. Bagaimanakah diaturnya resiko ini dalam B.W.?
Pasal 1237 menetapkan bahwa dalam suatu perjanjian mengenai pemberian suatu barang tertentu, sejak lahirnya perjanjian itu barang tersebut sudah menjadi tanggungan orang yang berhak menagih penyerahannya.
Menurut pasal 1460 dalam hal suatu perjanjian jual beli mengenai suatu barang yang sudah di tentukan sejak saat ditutupnya, perjanjian barang itu sudah menjadi tanggungan si pembeli meskipun ia belum di serahkan dan masih berada si tangan penjual.
Minilik dalam riwayatnya menjelaskan bahwa dalam pasal 1460 tersebut oleh pembuat undang” dikutip dari code civil. Tetapi dalam code civil apa yang di cantumkan pada pasal 1460 itu memang tepat, karena di situ berlaku peraturan bahwa dalam hal perjanjian jual beli, hak milik atas barang berpinda seketika pada saat di tutupnya  perjanjian. Jadi tidak seperti di dalam system B.W. dimana masih harus dilakukan penyerahan untuk memindahkan hak milik dari penjual kepada si pembeli.
b. Wanprestasi dan Akibat-akibatnya
Wansprestasi timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang diperjanjikan.
Adapun bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;
3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Akibat-akibat Wansprestasi
Akibat-akibat wansprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wansprestasi , dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni
1. Membayar Kerugian yang Diderita oleh Kreditur (Ganti Rugi)
Ganti rugi sering diperinci meliputi tinga unsur, yakni
a. Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak;
b. Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibat oleh kelalaian si debitor;
c. Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.
2. Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian
Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata.
Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan.
3. Peralihan Risiko
Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH perdata.
c. Keadaan memaksa
Untuk dapat dikatakan suatu “keadaan memaksa”(over macht atau force majeur), selain keadaan itu di luar kekuasaannya si berhutang dan memaksa keadaan yang telah timbul itu juga harus berupa suatu keadaan yang tidak dapat diketahui pada waktu perjanjian itu dibuat setidak”nya tidak di pikul resikonya oleh si berhutang. Jika siberhutang berhasil dalam membuktikan adanya keadaan yang demikian itu, tuntutan si berpiutang akan di tolank oleh hakim dan si berhutang terluput dari hukuman baik yang berupa penghukuman untuk memenuhi perjanjian maupun penghukuman untuk membayar penggantian kerugian.
Keadaan memaksa ada yang bersifat mutlak (absolut) yaitu dalam halnya sama sekali tidak mungkin lagi melaksanakan perjanjian (misalnya barangnya terhapus karena bencana alam), tetapi ada juga yang bersifat tak mutlak (relatief), yaitu berupa suatu keadaan di mana perjanjian masih dapat juga di laksanakan, tetapi dengan pengorbanan yang sangat besar dari pihak si piutang. Misalnya harga barang” yang masih harus di datangkan oleh si penjual, sekonyol” membumbung sangat tinggi atau dengan tiba” oleh pemerintah di keluarkan suatu peraturan yang melarang dengan ancaman hukuman untuk mengeluarkan suatu macam barang dari suatu daerah yang menyebabkan si berhutang tidak dapat menggirimkan barangnya kepada si berpiutang.




















BAB III
PENUTUP
Perikatan dalam hal ini berarti, hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli barang.
Buku III itu menganut asas “kebebasan” dalam hal membuat perjanjian (beginsel der kontractsvrijheid). Asas ini dapat di simpulkan dari pasal 1338, yang menerangkan bahwa segala perjanjian yang di buat adalah sah,
Perikatan (Pasal 1233 KUHPerdata): Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
Dalam kenyataanya ada beberapa macam perikatan yang dikenal dalam masyarakat menurut syarat yang ditentukan oleh pihak- pihak, atau menurut jenis prestasi yang harus dipenuhi, atau menurut jumlah subyek yang terlibat dalam perikatan itu.
Salah satu syarat sahnya perjanjian adalah, Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut.
Kata resiko berarti kewajiban untuk memikul kerugian jikalau ada suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang dimaksudkan dalam perjanjian.
Wansprestasi timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang diperjanjikan.
Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUHPerdata.
Untuk dapat dikatakan suatu “keadaan memaksa”(over macht atau force majeur), selain keadaan itu di luar kekuasaannya si berhutang dan memaksa keadaan yang telah timbul itu juga harus berupa suatu keadaan yang tidak dapat diketahui pada waktu perjanjian itu dibuat setidak”nya tidak di pikul resikonya oleh si berhutang.

DAFTAR PUSTAKA
o Subekti, 1954. Pokok-pokok Hukum Perdata. PT Intermasa: Jakarta.
o Masdoeki Muhammad. 1956. Pengantar ilmu hukum. Ghalia indonesia: Jakarta.
o Soetami Siti, 1992. Tata Hukum Indonesia. PT Refika Aditama: Bandung.
o Setiawan, R. 1977. Pokok-pokok Hukum Perikatan. Binacipta: Bandung.
o Kansil, 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tatat Hukum Indonesia. cet8. Balai Pustaka: Jakarta.

hukum perdata


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam hukum perdata terdapat pengertian tentang perikatan. Perikatan tersebut meliputi sistem buku III BW, sumber perikatan, asas asas dalam hukum perikatan, macam – macam perikatan, syarat sah perjanjian, wanprestasi dan keadaan memaksa dan resiko.
Oleh karena itu didalam makalah kami ini akan membahas secara singkat
tentang  pengertian tersebut.

1.2 Pokok Pembahasan Masalah
Berangkat dari mengetahui tentang perikatan dalam hukum perdata di Indonesia,
Maka kami tertarik untuk membahas perihal :
1. Pengertian perikatan
2. Sistem buku III BW
3. Asas-asas dalam hukum perikatan, macam-macam perikatan
4. Syarat sah perjanjian, wanprestasi, keadaan memaksa dan resiko.

1.3 Tujuan Pembahasan Masalah
Adapun tujuan pembahasan masalah, yaitu untuk mengetahui dan menambah pengetahuan tentang perikatan dalam hukum perdata di Indonesia.









BAB II
PEMBAHASAN

HUKUM PERIKATAN
A. Pengertian Perikatan
Perikatan dalam bahasa Belanda disebut “Ver Bintenis”. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti, hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli barang. Dapat berupa peristiwa, misalnya lahirnya seorang bayi, meninggalnya seseorang. Dapat berupa keadaan, misalnya, letak rumah yang bersusun. Karena hal yang mengikat itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang-undang atau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi “akibat hukum”. Dengan demikian, perikatan yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu disebut hubungan hukum. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang hukum pribadi(pers onal law). Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan adalah suatu hubungan dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.
Beberapa sarjana juga telah memberikan pengertian mengenai perikatan yaitu:
Pitlo memberikan pengertian perikatan yaitu suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi.
pengertian perikatan menurut Hofmann adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang dari padanya (debitur atau pada debitur) mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu  terhadap pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu.
Istilah perikatan sudah tepat sekali untuk melukiskan suatu pengertian yang sama yang dimaksudkan verbintenis dalam bahasa Belanda yaitu suatu hubungan hukum antara dua pihak yang isinya adalah hak dan kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Dalam beberapa pengertian yang telah dijabarkan di atas, keseluruhan pengertian tersebut menandakan bahwa pengertian yang dimaksud adalah suatu pengertian yang abstrak, yaitu suatu hal yang tidak dapat dilihat tetapi hanya dapat dibayangkan dalam pikiran kita. Untuk mengkonkretkan pengertian perikatan yang abstrak maka perlu adanya suatu perjanjian. Oleh karena itu, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah demikian, bahwa perikatan itu dilahirkan dari suatu perjanjian.
B. Sistem Buku III B.W.
Buku III B.W. terdiri atas suatu bagian umum dan suatu bagian usus. Bagian umum memuat peraturan” yang berlaku bagi perikatan umumnya, misalnya tententang bagaimana lahir dan hapusnya perikatan, macam” perikatan dan sebagainya. Bagian husus memuat peraturan” mengenai perjanjian” yang banyak di pakai dalam masyarakat dan yang sudah mempunyai nama” tertentu misalnya jual beli, sewa menyewa, perjanjian perburuan dsb.
Buku III itu menganut asas “kebebasan” dalam hal membuat perjanjian (beginsel der kontractsvrijheid). Asas ini dapat di simpulkan dari pasal 1338, yang menerangkan bahwa segala perjanjian yang di buat adalah sah, berlaku sebagai UU bagi mereka yang membuatnya. Sebenarnya yang di maksudkan oleh pasal tersebut adalah tidak lain dari pernyataan bahwa tiap perjanjian mengikat kedua belah pihak. Tetapi dari peraturan ini, dapat di tarik kesimpulan bahwa orang leluasa untuk membuat perjanjian apa saja, asal tidak melangar ketertiban umum atau kesusilaan. Tidak saja orang leluasa untuk membuat perjanjin apa saja, asal tidak melanggar ketertiban umum yang di atur dalam bagian khusus buku III, tetapi pada umumnya juga di bolehkan menyampingkan peraturan-peraturan yang termuat dalam buku III itu. Dengan kata lain peraturan-peraturan yang di tetapkan dalam buku III B.W. itu hanya disediakan dalam hal para pihak yang berkontrak itu tidak membuat peraturan sendiri. Dengan kata lain peraturan-peraturan dalam buku III, pada umumnya merupakan “Hukum Pelengkap” (aanvullend recht), buka hukum keras atau hukum memaksa.
System yang di anut oleh buku III itu juga lazim dinamakan system “terbuka”, yang merupakan sebaliknya dari yang di anut oleh buku lll perihal hukum perbendan. Disitu orang tidak di perkenankan untuk membuat atau memperjanjikan hak-hak kebendaan lain, selain dari yang diatur dalam B.W. sendiri. Disitu dianut system “tertutup”.
      C.Sumber Perikatan
o Perikatan (Pasal 1233 KUHPerdata): Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
o Persetujuan (Pasal 1313 KUHPerdata): Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
o Undang-undang (Pasal 1352 KUHPerdata): Perikatan yang lahir karena undang-undang timbul dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.
D. Asas-asas Dalam Hukum Perikatan dan Macam-macam Perikatan
a) Azas-azas dalam hukum perikatan
Asas-asas dalam hukum perikatan diatur dalam Buku III KUHPerdata, yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.
Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Asas konsensualisme Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas. Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata.
b) Macam- macam Perikatan
Dalam kenyataanya ada beberapa macam perikatan yang dikenal dalam masyarakat menurut syarat yang ditentukan oleh pihak- pihak, atau menurut jenis prestasi yang harus dipenuhi, atau menurut jumlah subyek yang terlibat dalam perikatan itu.

a) Perikatan bersyarat, perikatan yang timbul dari perjanjian dapat berupa perikatan murni dan perikatan bersyarat.
b) Perikatan dengan ketetapan waktu
c) Perikatan alternative
d) Perikatan tanggung menanggung
e) Perikatan yang dapat dan tidak dapat dibagi
f) Perikatan dengan ancaman hukuman
g) Perikatan wajar
E. Syarat sah Perjanjian, Wanprestasi, Keadaan Memaksa dan Resiko
a.) Sayarat sah perjanjian
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah
1. Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut.
2. Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian Cakap untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak harus cakap menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan.
3. Mengenai Suatu Hal Tertentu Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak.
4. Suatu sebab yang Halal Suatu sebab yang halal, artinya isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.
b.) Perihal resiko wanprestasi, dan keadaan memaksa
a. Perihal resiko
Kata resiko berarti kewajiban untuk memikul kerugian jikalau ada suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang dimaksudkan dalam perjanjian. Bagaimanakah diaturnya resiko ini dalam B.W.?
Pasal 1237 menetapkan bahwa dalam suatu perjanjian mengenai pemberian suatu barang tertentu, sejak lahirnya perjanjian itu barang tersebut sudah menjadi tanggungan orang yang berhak menagih penyerahannya.
Menurut pasal 1460 dalam hal suatu perjanjian jual beli mengenai suatu barang yang sudah di tentukan sejak saat ditutupnya, perjanjian barang itu sudah menjadi tanggungan si pembeli meskipun ia belum di serahkan dan masih berada si tangan penjual.
Minilik dalam riwayatnya menjelaskan bahwa dalam pasal 1460 tersebut oleh pembuat undang” dikutip dari code civil. Tetapi dalam code civil apa yang di cantumkan pada pasal 1460 itu memang tepat, karena di situ berlaku peraturan bahwa dalam hal perjanjian jual beli, hak milik atas barang berpinda seketika pada saat di tutupnya  perjanjian. Jadi tidak seperti di dalam system B.W. dimana masih harus dilakukan penyerahan untuk memindahkan hak milik dari penjual kepada si pembeli.
b. Wanprestasi dan Akibat-akibatnya
Wansprestasi timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang diperjanjikan.
Adapun bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;
3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Akibat-akibat Wansprestasi
Akibat-akibat wansprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wansprestasi , dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni
1. Membayar Kerugian yang Diderita oleh Kreditur (Ganti Rugi)
Ganti rugi sering diperinci meliputi tinga unsur, yakni
a. Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak;
b. Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibat oleh kelalaian si debitor;
c. Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.
2. Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian
Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata.
Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan.
3. Peralihan Risiko
Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH perdata.
c. Keadaan memaksa
Untuk dapat dikatakan suatu “keadaan memaksa”(over macht atau force majeur), selain keadaan itu di luar kekuasaannya si berhutang dan memaksa keadaan yang telah timbul itu juga harus berupa suatu keadaan yang tidak dapat diketahui pada waktu perjanjian itu dibuat setidak”nya tidak di pikul resikonya oleh si berhutang. Jika siberhutang berhasil dalam membuktikan adanya keadaan yang demikian itu, tuntutan si berpiutang akan di tolank oleh hakim dan si berhutang terluput dari hukuman baik yang berupa penghukuman untuk memenuhi perjanjian maupun penghukuman untuk membayar penggantian kerugian.
Keadaan memaksa ada yang bersifat mutlak (absolut) yaitu dalam halnya sama sekali tidak mungkin lagi melaksanakan perjanjian (misalnya barangnya terhapus karena bencana alam), tetapi ada juga yang bersifat tak mutlak (relatief), yaitu berupa suatu keadaan di mana perjanjian masih dapat juga di laksanakan, tetapi dengan pengorbanan yang sangat besar dari pihak si piutang. Misalnya harga barang” yang masih harus di datangkan oleh si penjual, sekonyol” membumbung sangat tinggi atau dengan tiba” oleh pemerintah di keluarkan suatu peraturan yang melarang dengan ancaman hukuman untuk mengeluarkan suatu macam barang dari suatu daerah yang menyebabkan si berhutang tidak dapat menggirimkan barangnya kepada si berpiutang.




















BAB III
PENUTUP
Perikatan dalam hal ini berarti, hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli barang.
Buku III itu menganut asas “kebebasan” dalam hal membuat perjanjian (beginsel der kontractsvrijheid). Asas ini dapat di simpulkan dari pasal 1338, yang menerangkan bahwa segala perjanjian yang di buat adalah sah,
Perikatan (Pasal 1233 KUHPerdata): Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
Dalam kenyataanya ada beberapa macam perikatan yang dikenal dalam masyarakat menurut syarat yang ditentukan oleh pihak- pihak, atau menurut jenis prestasi yang harus dipenuhi, atau menurut jumlah subyek yang terlibat dalam perikatan itu.
Salah satu syarat sahnya perjanjian adalah, Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut.
Kata resiko berarti kewajiban untuk memikul kerugian jikalau ada suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang dimaksudkan dalam perjanjian.
Wansprestasi timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang diperjanjikan.
Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUHPerdata.
Untuk dapat dikatakan suatu “keadaan memaksa”(over macht atau force majeur), selain keadaan itu di luar kekuasaannya si berhutang dan memaksa keadaan yang telah timbul itu juga harus berupa suatu keadaan yang tidak dapat diketahui pada waktu perjanjian itu dibuat setidak”nya tidak di pikul resikonya oleh si berhutang.

DAFTAR PUSTAKA
o Subekti, 1954. Pokok-pokok Hukum Perdata. PT Intermasa: Jakarta.
o Masdoeki Muhammad. 1956. Pengantar ilmu hukum. Ghalia indonesia: Jakarta.
o Soetami Siti, 1992. Tata Hukum Indonesia. PT Refika Aditama: Bandung.
o Setiawan, R. 1977. Pokok-pokok Hukum Perikatan. Binacipta: Bandung.
o Kansil, 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tatat Hukum Indonesia. cet8. Balai Pustaka: Jakarta.

hukum perdata


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam hukum perdata terdapat pengertian tentang perikatan. Perikatan tersebut meliputi sistem buku III BW, sumber perikatan, asas asas dalam hukum perikatan, macam – macam perikatan, syarat sah perjanjian, wanprestasi dan keadaan memaksa dan resiko.
Oleh karena itu didalam makalah kami ini akan membahas secara singkat
tentang  pengertian tersebut.

1.2 Pokok Pembahasan Masalah
Berangkat dari mengetahui tentang perikatan dalam hukum perdata di Indonesia,
Maka kami tertarik untuk membahas perihal :
1. Pengertian perikatan
2. Sistem buku III BW
3. Asas-asas dalam hukum perikatan, macam-macam perikatan
4. Syarat sah perjanjian, wanprestasi, keadaan memaksa dan resiko.

1.3 Tujuan Pembahasan Masalah
Adapun tujuan pembahasan masalah, yaitu untuk mengetahui dan menambah pengetahuan tentang perikatan dalam hukum perdata di Indonesia.









BAB II
PEMBAHASAN

HUKUM PERIKATAN
A. Pengertian Perikatan
Perikatan dalam bahasa Belanda disebut “Ver Bintenis”. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti, hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli barang. Dapat berupa peristiwa, misalnya lahirnya seorang bayi, meninggalnya seseorang. Dapat berupa keadaan, misalnya, letak rumah yang bersusun. Karena hal yang mengikat itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang-undang atau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi “akibat hukum”. Dengan demikian, perikatan yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu disebut hubungan hukum. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang hukum pribadi(pers onal law). Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan adalah suatu hubungan dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.
Beberapa sarjana juga telah memberikan pengertian mengenai perikatan yaitu:
Pitlo memberikan pengertian perikatan yaitu suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi.
pengertian perikatan menurut Hofmann adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang dari padanya (debitur atau pada debitur) mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu  terhadap pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu.
Istilah perikatan sudah tepat sekali untuk melukiskan suatu pengertian yang sama yang dimaksudkan verbintenis dalam bahasa Belanda yaitu suatu hubungan hukum antara dua pihak yang isinya adalah hak dan kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Dalam beberapa pengertian yang telah dijabarkan di atas, keseluruhan pengertian tersebut menandakan bahwa pengertian yang dimaksud adalah suatu pengertian yang abstrak, yaitu suatu hal yang tidak dapat dilihat tetapi hanya dapat dibayangkan dalam pikiran kita. Untuk mengkonkretkan pengertian perikatan yang abstrak maka perlu adanya suatu perjanjian. Oleh karena itu, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah demikian, bahwa perikatan itu dilahirkan dari suatu perjanjian.
B. Sistem Buku III B.W.
Buku III B.W. terdiri atas suatu bagian umum dan suatu bagian usus. Bagian umum memuat peraturan” yang berlaku bagi perikatan umumnya, misalnya tententang bagaimana lahir dan hapusnya perikatan, macam” perikatan dan sebagainya. Bagian husus memuat peraturan” mengenai perjanjian” yang banyak di pakai dalam masyarakat dan yang sudah mempunyai nama” tertentu misalnya jual beli, sewa menyewa, perjanjian perburuan dsb.
Buku III itu menganut asas “kebebasan” dalam hal membuat perjanjian (beginsel der kontractsvrijheid). Asas ini dapat di simpulkan dari pasal 1338, yang menerangkan bahwa segala perjanjian yang di buat adalah sah, berlaku sebagai UU bagi mereka yang membuatnya. Sebenarnya yang di maksudkan oleh pasal tersebut adalah tidak lain dari pernyataan bahwa tiap perjanjian mengikat kedua belah pihak. Tetapi dari peraturan ini, dapat di tarik kesimpulan bahwa orang leluasa untuk membuat perjanjian apa saja, asal tidak melangar ketertiban umum atau kesusilaan. Tidak saja orang leluasa untuk membuat perjanjin apa saja, asal tidak melanggar ketertiban umum yang di atur dalam bagian khusus buku III, tetapi pada umumnya juga di bolehkan menyampingkan peraturan-peraturan yang termuat dalam buku III itu. Dengan kata lain peraturan-peraturan yang di tetapkan dalam buku III B.W. itu hanya disediakan dalam hal para pihak yang berkontrak itu tidak membuat peraturan sendiri. Dengan kata lain peraturan-peraturan dalam buku III, pada umumnya merupakan “Hukum Pelengkap” (aanvullend recht), buka hukum keras atau hukum memaksa.
System yang di anut oleh buku III itu juga lazim dinamakan system “terbuka”, yang merupakan sebaliknya dari yang di anut oleh buku lll perihal hukum perbendan. Disitu orang tidak di perkenankan untuk membuat atau memperjanjikan hak-hak kebendaan lain, selain dari yang diatur dalam B.W. sendiri. Disitu dianut system “tertutup”.
      C.Sumber Perikatan
o Perikatan (Pasal 1233 KUHPerdata): Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
o Persetujuan (Pasal 1313 KUHPerdata): Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
o Undang-undang (Pasal 1352 KUHPerdata): Perikatan yang lahir karena undang-undang timbul dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.
D. Asas-asas Dalam Hukum Perikatan dan Macam-macam Perikatan
a) Azas-azas dalam hukum perikatan
Asas-asas dalam hukum perikatan diatur dalam Buku III KUHPerdata, yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.
Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Asas konsensualisme Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas. Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata.
b) Macam- macam Perikatan
Dalam kenyataanya ada beberapa macam perikatan yang dikenal dalam masyarakat menurut syarat yang ditentukan oleh pihak- pihak, atau menurut jenis prestasi yang harus dipenuhi, atau menurut jumlah subyek yang terlibat dalam perikatan itu.

a) Perikatan bersyarat, perikatan yang timbul dari perjanjian dapat berupa perikatan murni dan perikatan bersyarat.
b) Perikatan dengan ketetapan waktu
c) Perikatan alternative
d) Perikatan tanggung menanggung
e) Perikatan yang dapat dan tidak dapat dibagi
f) Perikatan dengan ancaman hukuman
g) Perikatan wajar
E. Syarat sah Perjanjian, Wanprestasi, Keadaan Memaksa dan Resiko
a.) Sayarat sah perjanjian
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah
1. Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut.
2. Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian Cakap untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak harus cakap menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan.
3. Mengenai Suatu Hal Tertentu Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak.
4. Suatu sebab yang Halal Suatu sebab yang halal, artinya isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.
b.) Perihal resiko wanprestasi, dan keadaan memaksa
a. Perihal resiko
Kata resiko berarti kewajiban untuk memikul kerugian jikalau ada suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang dimaksudkan dalam perjanjian. Bagaimanakah diaturnya resiko ini dalam B.W.?
Pasal 1237 menetapkan bahwa dalam suatu perjanjian mengenai pemberian suatu barang tertentu, sejak lahirnya perjanjian itu barang tersebut sudah menjadi tanggungan orang yang berhak menagih penyerahannya.
Menurut pasal 1460 dalam hal suatu perjanjian jual beli mengenai suatu barang yang sudah di tentukan sejak saat ditutupnya, perjanjian barang itu sudah menjadi tanggungan si pembeli meskipun ia belum di serahkan dan masih berada si tangan penjual.
Minilik dalam riwayatnya menjelaskan bahwa dalam pasal 1460 tersebut oleh pembuat undang” dikutip dari code civil. Tetapi dalam code civil apa yang di cantumkan pada pasal 1460 itu memang tepat, karena di situ berlaku peraturan bahwa dalam hal perjanjian jual beli, hak milik atas barang berpinda seketika pada saat di tutupnya  perjanjian. Jadi tidak seperti di dalam system B.W. dimana masih harus dilakukan penyerahan untuk memindahkan hak milik dari penjual kepada si pembeli.
b. Wanprestasi dan Akibat-akibatnya
Wansprestasi timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang diperjanjikan.
Adapun bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;
3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Akibat-akibat Wansprestasi
Akibat-akibat wansprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wansprestasi , dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni
1. Membayar Kerugian yang Diderita oleh Kreditur (Ganti Rugi)
Ganti rugi sering diperinci meliputi tinga unsur, yakni
a. Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak;
b. Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibat oleh kelalaian si debitor;
c. Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.
2. Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian
Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata.
Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan.
3. Peralihan Risiko
Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH perdata.
c. Keadaan memaksa
Untuk dapat dikatakan suatu “keadaan memaksa”(over macht atau force majeur), selain keadaan itu di luar kekuasaannya si berhutang dan memaksa keadaan yang telah timbul itu juga harus berupa suatu keadaan yang tidak dapat diketahui pada waktu perjanjian itu dibuat setidak”nya tidak di pikul resikonya oleh si berhutang. Jika siberhutang berhasil dalam membuktikan adanya keadaan yang demikian itu, tuntutan si berpiutang akan di tolank oleh hakim dan si berhutang terluput dari hukuman baik yang berupa penghukuman untuk memenuhi perjanjian maupun penghukuman untuk membayar penggantian kerugian.
Keadaan memaksa ada yang bersifat mutlak (absolut) yaitu dalam halnya sama sekali tidak mungkin lagi melaksanakan perjanjian (misalnya barangnya terhapus karena bencana alam), tetapi ada juga yang bersifat tak mutlak (relatief), yaitu berupa suatu keadaan di mana perjanjian masih dapat juga di laksanakan, tetapi dengan pengorbanan yang sangat besar dari pihak si piutang. Misalnya harga barang” yang masih harus di datangkan oleh si penjual, sekonyol” membumbung sangat tinggi atau dengan tiba” oleh pemerintah di keluarkan suatu peraturan yang melarang dengan ancaman hukuman untuk mengeluarkan suatu macam barang dari suatu daerah yang menyebabkan si berhutang tidak dapat menggirimkan barangnya kepada si berpiutang.




















BAB III
PENUTUP
Perikatan dalam hal ini berarti, hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli barang.
Buku III itu menganut asas “kebebasan” dalam hal membuat perjanjian (beginsel der kontractsvrijheid). Asas ini dapat di simpulkan dari pasal 1338, yang menerangkan bahwa segala perjanjian yang di buat adalah sah,
Perikatan (Pasal 1233 KUHPerdata): Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
Dalam kenyataanya ada beberapa macam perikatan yang dikenal dalam masyarakat menurut syarat yang ditentukan oleh pihak- pihak, atau menurut jenis prestasi yang harus dipenuhi, atau menurut jumlah subyek yang terlibat dalam perikatan itu.
Salah satu syarat sahnya perjanjian adalah, Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut.
Kata resiko berarti kewajiban untuk memikul kerugian jikalau ada suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang dimaksudkan dalam perjanjian.
Wansprestasi timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang diperjanjikan.
Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUHPerdata.
Untuk dapat dikatakan suatu “keadaan memaksa”(over macht atau force majeur), selain keadaan itu di luar kekuasaannya si berhutang dan memaksa keadaan yang telah timbul itu juga harus berupa suatu keadaan yang tidak dapat diketahui pada waktu perjanjian itu dibuat setidak”nya tidak di pikul resikonya oleh si berhutang.

DAFTAR PUSTAKA
o Subekti, 1954. Pokok-pokok Hukum Perdata. PT Intermasa: Jakarta.
o Masdoeki Muhammad. 1956. Pengantar ilmu hukum. Ghalia indonesia: Jakarta.
o Soetami Siti, 1992. Tata Hukum Indonesia. PT Refika Aditama: Bandung.
o Setiawan, R. 1977. Pokok-pokok Hukum Perikatan. Binacipta: Bandung.
o Kansil, 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tatat Hukum Indonesia. cet8. Balai Pustaka: Jakarta.

hukum perdata


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam hukum perdata terdapat pengertian tentang perikatan. Perikatan tersebut meliputi sistem buku III BW, sumber perikatan, asas asas dalam hukum perikatan, macam – macam perikatan, syarat sah perjanjian, wanprestasi dan keadaan memaksa dan resiko.
Oleh karena itu didalam makalah kami ini akan membahas secara singkat
tentang  pengertian tersebut.

1.2 Pokok Pembahasan Masalah
Berangkat dari mengetahui tentang perikatan dalam hukum perdata di Indonesia,
Maka kami tertarik untuk membahas perihal :
1. Pengertian perikatan
2. Sistem buku III BW
3. Asas-asas dalam hukum perikatan, macam-macam perikatan
4. Syarat sah perjanjian, wanprestasi, keadaan memaksa dan resiko.

1.3 Tujuan Pembahasan Masalah
Adapun tujuan pembahasan masalah, yaitu untuk mengetahui dan menambah pengetahuan tentang perikatan dalam hukum perdata di Indonesia.









BAB II
PEMBAHASAN

HUKUM PERIKATAN
A. Pengertian Perikatan
Perikatan dalam bahasa Belanda disebut “Ver Bintenis”. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti, hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli barang. Dapat berupa peristiwa, misalnya lahirnya seorang bayi, meninggalnya seseorang. Dapat berupa keadaan, misalnya, letak rumah yang bersusun. Karena hal yang mengikat itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang-undang atau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi “akibat hukum”. Dengan demikian, perikatan yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu disebut hubungan hukum. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang hukum pribadi(pers onal law). Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan adalah suatu hubungan dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.
Beberapa sarjana juga telah memberikan pengertian mengenai perikatan yaitu:
Pitlo memberikan pengertian perikatan yaitu suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi.
pengertian perikatan menurut Hofmann adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang dari padanya (debitur atau pada debitur) mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu  terhadap pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu.
Istilah perikatan sudah tepat sekali untuk melukiskan suatu pengertian yang sama yang dimaksudkan verbintenis dalam bahasa Belanda yaitu suatu hubungan hukum antara dua pihak yang isinya adalah hak dan kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Dalam beberapa pengertian yang telah dijabarkan di atas, keseluruhan pengertian tersebut menandakan bahwa pengertian yang dimaksud adalah suatu pengertian yang abstrak, yaitu suatu hal yang tidak dapat dilihat tetapi hanya dapat dibayangkan dalam pikiran kita. Untuk mengkonkretkan pengertian perikatan yang abstrak maka perlu adanya suatu perjanjian. Oleh karena itu, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah demikian, bahwa perikatan itu dilahirkan dari suatu perjanjian.
B. Sistem Buku III B.W.
Buku III B.W. terdiri atas suatu bagian umum dan suatu bagian usus. Bagian umum memuat peraturan” yang berlaku bagi perikatan umumnya, misalnya tententang bagaimana lahir dan hapusnya perikatan, macam” perikatan dan sebagainya. Bagian husus memuat peraturan” mengenai perjanjian” yang banyak di pakai dalam masyarakat dan yang sudah mempunyai nama” tertentu misalnya jual beli, sewa menyewa, perjanjian perburuan dsb.
Buku III itu menganut asas “kebebasan” dalam hal membuat perjanjian (beginsel der kontractsvrijheid). Asas ini dapat di simpulkan dari pasal 1338, yang menerangkan bahwa segala perjanjian yang di buat adalah sah, berlaku sebagai UU bagi mereka yang membuatnya. Sebenarnya yang di maksudkan oleh pasal tersebut adalah tidak lain dari pernyataan bahwa tiap perjanjian mengikat kedua belah pihak. Tetapi dari peraturan ini, dapat di tarik kesimpulan bahwa orang leluasa untuk membuat perjanjian apa saja, asal tidak melangar ketertiban umum atau kesusilaan. Tidak saja orang leluasa untuk membuat perjanjin apa saja, asal tidak melanggar ketertiban umum yang di atur dalam bagian khusus buku III, tetapi pada umumnya juga di bolehkan menyampingkan peraturan-peraturan yang termuat dalam buku III itu. Dengan kata lain peraturan-peraturan yang di tetapkan dalam buku III B.W. itu hanya disediakan dalam hal para pihak yang berkontrak itu tidak membuat peraturan sendiri. Dengan kata lain peraturan-peraturan dalam buku III, pada umumnya merupakan “Hukum Pelengkap” (aanvullend recht), buka hukum keras atau hukum memaksa.
System yang di anut oleh buku III itu juga lazim dinamakan system “terbuka”, yang merupakan sebaliknya dari yang di anut oleh buku lll perihal hukum perbendan. Disitu orang tidak di perkenankan untuk membuat atau memperjanjikan hak-hak kebendaan lain, selain dari yang diatur dalam B.W. sendiri. Disitu dianut system “tertutup”.
      C.Sumber Perikatan
o Perikatan (Pasal 1233 KUHPerdata): Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
o Persetujuan (Pasal 1313 KUHPerdata): Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
o Undang-undang (Pasal 1352 KUHPerdata): Perikatan yang lahir karena undang-undang timbul dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.
D. Asas-asas Dalam Hukum Perikatan dan Macam-macam Perikatan
a) Azas-azas dalam hukum perikatan
Asas-asas dalam hukum perikatan diatur dalam Buku III KUHPerdata, yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.
Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Asas konsensualisme Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas. Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata.
b) Macam- macam Perikatan
Dalam kenyataanya ada beberapa macam perikatan yang dikenal dalam masyarakat menurut syarat yang ditentukan oleh pihak- pihak, atau menurut jenis prestasi yang harus dipenuhi, atau menurut jumlah subyek yang terlibat dalam perikatan itu.

a) Perikatan bersyarat, perikatan yang timbul dari perjanjian dapat berupa perikatan murni dan perikatan bersyarat.
b) Perikatan dengan ketetapan waktu
c) Perikatan alternative
d) Perikatan tanggung menanggung
e) Perikatan yang dapat dan tidak dapat dibagi
f) Perikatan dengan ancaman hukuman
g) Perikatan wajar
E. Syarat sah Perjanjian, Wanprestasi, Keadaan Memaksa dan Resiko
a.) Sayarat sah perjanjian
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah
1. Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut.
2. Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian Cakap untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak harus cakap menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan.
3. Mengenai Suatu Hal Tertentu Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak.
4. Suatu sebab yang Halal Suatu sebab yang halal, artinya isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.
b.) Perihal resiko wanprestasi, dan keadaan memaksa
a. Perihal resiko
Kata resiko berarti kewajiban untuk memikul kerugian jikalau ada suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang dimaksudkan dalam perjanjian. Bagaimanakah diaturnya resiko ini dalam B.W.?
Pasal 1237 menetapkan bahwa dalam suatu perjanjian mengenai pemberian suatu barang tertentu, sejak lahirnya perjanjian itu barang tersebut sudah menjadi tanggungan orang yang berhak menagih penyerahannya.
Menurut pasal 1460 dalam hal suatu perjanjian jual beli mengenai suatu barang yang sudah di tentukan sejak saat ditutupnya, perjanjian barang itu sudah menjadi tanggungan si pembeli meskipun ia belum di serahkan dan masih berada si tangan penjual.
Minilik dalam riwayatnya menjelaskan bahwa dalam pasal 1460 tersebut oleh pembuat undang” dikutip dari code civil. Tetapi dalam code civil apa yang di cantumkan pada pasal 1460 itu memang tepat, karena di situ berlaku peraturan bahwa dalam hal perjanjian jual beli, hak milik atas barang berpinda seketika pada saat di tutupnya  perjanjian. Jadi tidak seperti di dalam system B.W. dimana masih harus dilakukan penyerahan untuk memindahkan hak milik dari penjual kepada si pembeli.
b. Wanprestasi dan Akibat-akibatnya
Wansprestasi timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang diperjanjikan.
Adapun bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;
3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Akibat-akibat Wansprestasi
Akibat-akibat wansprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wansprestasi , dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni
1. Membayar Kerugian yang Diderita oleh Kreditur (Ganti Rugi)
Ganti rugi sering diperinci meliputi tinga unsur, yakni
a. Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak;
b. Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibat oleh kelalaian si debitor;
c. Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.
2. Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian
Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata.
Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan.
3. Peralihan Risiko
Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH perdata.
c. Keadaan memaksa
Untuk dapat dikatakan suatu “keadaan memaksa”(over macht atau force majeur), selain keadaan itu di luar kekuasaannya si berhutang dan memaksa keadaan yang telah timbul itu juga harus berupa suatu keadaan yang tidak dapat diketahui pada waktu perjanjian itu dibuat setidak”nya tidak di pikul resikonya oleh si berhutang. Jika siberhutang berhasil dalam membuktikan adanya keadaan yang demikian itu, tuntutan si berpiutang akan di tolank oleh hakim dan si berhutang terluput dari hukuman baik yang berupa penghukuman untuk memenuhi perjanjian maupun penghukuman untuk membayar penggantian kerugian.
Keadaan memaksa ada yang bersifat mutlak (absolut) yaitu dalam halnya sama sekali tidak mungkin lagi melaksanakan perjanjian (misalnya barangnya terhapus karena bencana alam), tetapi ada juga yang bersifat tak mutlak (relatief), yaitu berupa suatu keadaan di mana perjanjian masih dapat juga di laksanakan, tetapi dengan pengorbanan yang sangat besar dari pihak si piutang. Misalnya harga barang” yang masih harus di datangkan oleh si penjual, sekonyol” membumbung sangat tinggi atau dengan tiba” oleh pemerintah di keluarkan suatu peraturan yang melarang dengan ancaman hukuman untuk mengeluarkan suatu macam barang dari suatu daerah yang menyebabkan si berhutang tidak dapat menggirimkan barangnya kepada si berpiutang.




















BAB III
PENUTUP
Perikatan dalam hal ini berarti, hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli barang.
Buku III itu menganut asas “kebebasan” dalam hal membuat perjanjian (beginsel der kontractsvrijheid). Asas ini dapat di simpulkan dari pasal 1338, yang menerangkan bahwa segala perjanjian yang di buat adalah sah,
Perikatan (Pasal 1233 KUHPerdata): Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
Dalam kenyataanya ada beberapa macam perikatan yang dikenal dalam masyarakat menurut syarat yang ditentukan oleh pihak- pihak, atau menurut jenis prestasi yang harus dipenuhi, atau menurut jumlah subyek yang terlibat dalam perikatan itu.
Salah satu syarat sahnya perjanjian adalah, Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut.
Kata resiko berarti kewajiban untuk memikul kerugian jikalau ada suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang dimaksudkan dalam perjanjian.
Wansprestasi timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang diperjanjikan.
Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUHPerdata.
Untuk dapat dikatakan suatu “keadaan memaksa”(over macht atau force majeur), selain keadaan itu di luar kekuasaannya si berhutang dan memaksa keadaan yang telah timbul itu juga harus berupa suatu keadaan yang tidak dapat diketahui pada waktu perjanjian itu dibuat setidak”nya tidak di pikul resikonya oleh si berhutang.

DAFTAR PUSTAKA
o Subekti, 1954. Pokok-pokok Hukum Perdata. PT Intermasa: Jakarta.
o Masdoeki Muhammad. 1956. Pengantar ilmu hukum. Ghalia indonesia: Jakarta.
o Soetami Siti, 1992. Tata Hukum Indonesia. PT Refika Aditama: Bandung.
o Setiawan, R. 1977. Pokok-pokok Hukum Perikatan. Binacipta: Bandung.
o Kansil, 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tatat Hukum Indonesia. cet8. Balai Pustaka: Jakarta.

hukum perdata


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam hukum perdata terdapat pengertian tentang perikatan. Perikatan tersebut meliputi sistem buku III BW, sumber perikatan, asas asas dalam hukum perikatan, macam – macam perikatan, syarat sah perjanjian, wanprestasi dan keadaan memaksa dan resiko.
Oleh karena itu didalam makalah kami ini akan membahas secara singkat
tentang  pengertian tersebut.

1.2 Pokok Pembahasan Masalah
Berangkat dari mengetahui tentang perikatan dalam hukum perdata di Indonesia,
Maka kami tertarik untuk membahas perihal :
1. Pengertian perikatan
2. Sistem buku III BW
3. Asas-asas dalam hukum perikatan, macam-macam perikatan
4. Syarat sah perjanjian, wanprestasi, keadaan memaksa dan resiko.

1.3 Tujuan Pembahasan Masalah
Adapun tujuan pembahasan masalah, yaitu untuk mengetahui dan menambah pengetahuan tentang perikatan dalam hukum perdata di Indonesia.









BAB II
PEMBAHASAN

HUKUM PERIKATAN
A. Pengertian Perikatan
Perikatan dalam bahasa Belanda disebut “Ver Bintenis”. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti, hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli barang. Dapat berupa peristiwa, misalnya lahirnya seorang bayi, meninggalnya seseorang. Dapat berupa keadaan, misalnya, letak rumah yang bersusun. Karena hal yang mengikat itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang-undang atau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi “akibat hukum”. Dengan demikian, perikatan yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu disebut hubungan hukum. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang hukum pribadi(pers onal law). Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan adalah suatu hubungan dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.
Beberapa sarjana juga telah memberikan pengertian mengenai perikatan yaitu:
Pitlo memberikan pengertian perikatan yaitu suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi.
pengertian perikatan menurut Hofmann adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang dari padanya (debitur atau pada debitur) mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu  terhadap pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu.
Istilah perikatan sudah tepat sekali untuk melukiskan suatu pengertian yang sama yang dimaksudkan verbintenis dalam bahasa Belanda yaitu suatu hubungan hukum antara dua pihak yang isinya adalah hak dan kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Dalam beberapa pengertian yang telah dijabarkan di atas, keseluruhan pengertian tersebut menandakan bahwa pengertian yang dimaksud adalah suatu pengertian yang abstrak, yaitu suatu hal yang tidak dapat dilihat tetapi hanya dapat dibayangkan dalam pikiran kita. Untuk mengkonkretkan pengertian perikatan yang abstrak maka perlu adanya suatu perjanjian. Oleh karena itu, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah demikian, bahwa perikatan itu dilahirkan dari suatu perjanjian.
B. Sistem Buku III B.W.
Buku III B.W. terdiri atas suatu bagian umum dan suatu bagian usus. Bagian umum memuat peraturan” yang berlaku bagi perikatan umumnya, misalnya tententang bagaimana lahir dan hapusnya perikatan, macam” perikatan dan sebagainya. Bagian husus memuat peraturan” mengenai perjanjian” yang banyak di pakai dalam masyarakat dan yang sudah mempunyai nama” tertentu misalnya jual beli, sewa menyewa, perjanjian perburuan dsb.
Buku III itu menganut asas “kebebasan” dalam hal membuat perjanjian (beginsel der kontractsvrijheid). Asas ini dapat di simpulkan dari pasal 1338, yang menerangkan bahwa segala perjanjian yang di buat adalah sah, berlaku sebagai UU bagi mereka yang membuatnya. Sebenarnya yang di maksudkan oleh pasal tersebut adalah tidak lain dari pernyataan bahwa tiap perjanjian mengikat kedua belah pihak. Tetapi dari peraturan ini, dapat di tarik kesimpulan bahwa orang leluasa untuk membuat perjanjian apa saja, asal tidak melangar ketertiban umum atau kesusilaan. Tidak saja orang leluasa untuk membuat perjanjin apa saja, asal tidak melanggar ketertiban umum yang di atur dalam bagian khusus buku III, tetapi pada umumnya juga di bolehkan menyampingkan peraturan-peraturan yang termuat dalam buku III itu. Dengan kata lain peraturan-peraturan yang di tetapkan dalam buku III B.W. itu hanya disediakan dalam hal para pihak yang berkontrak itu tidak membuat peraturan sendiri. Dengan kata lain peraturan-peraturan dalam buku III, pada umumnya merupakan “Hukum Pelengkap” (aanvullend recht), buka hukum keras atau hukum memaksa.
System yang di anut oleh buku III itu juga lazim dinamakan system “terbuka”, yang merupakan sebaliknya dari yang di anut oleh buku lll perihal hukum perbendan. Disitu orang tidak di perkenankan untuk membuat atau memperjanjikan hak-hak kebendaan lain, selain dari yang diatur dalam B.W. sendiri. Disitu dianut system “tertutup”.
      C.Sumber Perikatan
o Perikatan (Pasal 1233 KUHPerdata): Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
o Persetujuan (Pasal 1313 KUHPerdata): Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
o Undang-undang (Pasal 1352 KUHPerdata): Perikatan yang lahir karena undang-undang timbul dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.
D. Asas-asas Dalam Hukum Perikatan dan Macam-macam Perikatan
a) Azas-azas dalam hukum perikatan
Asas-asas dalam hukum perikatan diatur dalam Buku III KUHPerdata, yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.
Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Asas konsensualisme Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas. Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata.
b) Macam- macam Perikatan
Dalam kenyataanya ada beberapa macam perikatan yang dikenal dalam masyarakat menurut syarat yang ditentukan oleh pihak- pihak, atau menurut jenis prestasi yang harus dipenuhi, atau menurut jumlah subyek yang terlibat dalam perikatan itu.

a) Perikatan bersyarat, perikatan yang timbul dari perjanjian dapat berupa perikatan murni dan perikatan bersyarat.
b) Perikatan dengan ketetapan waktu
c) Perikatan alternative
d) Perikatan tanggung menanggung
e) Perikatan yang dapat dan tidak dapat dibagi
f) Perikatan dengan ancaman hukuman
g) Perikatan wajar
E. Syarat sah Perjanjian, Wanprestasi, Keadaan Memaksa dan Resiko
a.) Sayarat sah perjanjian
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah
1. Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut.
2. Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian Cakap untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak harus cakap menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan.
3. Mengenai Suatu Hal Tertentu Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak.
4. Suatu sebab yang Halal Suatu sebab yang halal, artinya isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.
b.) Perihal resiko wanprestasi, dan keadaan memaksa
a. Perihal resiko
Kata resiko berarti kewajiban untuk memikul kerugian jikalau ada suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang dimaksudkan dalam perjanjian. Bagaimanakah diaturnya resiko ini dalam B.W.?
Pasal 1237 menetapkan bahwa dalam suatu perjanjian mengenai pemberian suatu barang tertentu, sejak lahirnya perjanjian itu barang tersebut sudah menjadi tanggungan orang yang berhak menagih penyerahannya.
Menurut pasal 1460 dalam hal suatu perjanjian jual beli mengenai suatu barang yang sudah di tentukan sejak saat ditutupnya, perjanjian barang itu sudah menjadi tanggungan si pembeli meskipun ia belum di serahkan dan masih berada si tangan penjual.
Minilik dalam riwayatnya menjelaskan bahwa dalam pasal 1460 tersebut oleh pembuat undang” dikutip dari code civil. Tetapi dalam code civil apa yang di cantumkan pada pasal 1460 itu memang tepat, karena di situ berlaku peraturan bahwa dalam hal perjanjian jual beli, hak milik atas barang berpinda seketika pada saat di tutupnya  perjanjian. Jadi tidak seperti di dalam system B.W. dimana masih harus dilakukan penyerahan untuk memindahkan hak milik dari penjual kepada si pembeli.
b. Wanprestasi dan Akibat-akibatnya
Wansprestasi timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang diperjanjikan.
Adapun bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;
3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Akibat-akibat Wansprestasi
Akibat-akibat wansprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wansprestasi , dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni
1. Membayar Kerugian yang Diderita oleh Kreditur (Ganti Rugi)
Ganti rugi sering diperinci meliputi tinga unsur, yakni
a. Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak;
b. Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibat oleh kelalaian si debitor;
c. Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.
2. Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian
Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata.
Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan.
3. Peralihan Risiko
Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH perdata.
c. Keadaan memaksa
Untuk dapat dikatakan suatu “keadaan memaksa”(over macht atau force majeur), selain keadaan itu di luar kekuasaannya si berhutang dan memaksa keadaan yang telah timbul itu juga harus berupa suatu keadaan yang tidak dapat diketahui pada waktu perjanjian itu dibuat setidak”nya tidak di pikul resikonya oleh si berhutang. Jika siberhutang berhasil dalam membuktikan adanya keadaan yang demikian itu, tuntutan si berpiutang akan di tolank oleh hakim dan si berhutang terluput dari hukuman baik yang berupa penghukuman untuk memenuhi perjanjian maupun penghukuman untuk membayar penggantian kerugian.
Keadaan memaksa ada yang bersifat mutlak (absolut) yaitu dalam halnya sama sekali tidak mungkin lagi melaksanakan perjanjian (misalnya barangnya terhapus karena bencana alam), tetapi ada juga yang bersifat tak mutlak (relatief), yaitu berupa suatu keadaan di mana perjanjian masih dapat juga di laksanakan, tetapi dengan pengorbanan yang sangat besar dari pihak si piutang. Misalnya harga barang” yang masih harus di datangkan oleh si penjual, sekonyol” membumbung sangat tinggi atau dengan tiba” oleh pemerintah di keluarkan suatu peraturan yang melarang dengan ancaman hukuman untuk mengeluarkan suatu macam barang dari suatu daerah yang menyebabkan si berhutang tidak dapat menggirimkan barangnya kepada si berpiutang.




















BAB III
PENUTUP
Perikatan dalam hal ini berarti, hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli barang.
Buku III itu menganut asas “kebebasan” dalam hal membuat perjanjian (beginsel der kontractsvrijheid). Asas ini dapat di simpulkan dari pasal 1338, yang menerangkan bahwa segala perjanjian yang di buat adalah sah,
Perikatan (Pasal 1233 KUHPerdata): Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
Dalam kenyataanya ada beberapa macam perikatan yang dikenal dalam masyarakat menurut syarat yang ditentukan oleh pihak- pihak, atau menurut jenis prestasi yang harus dipenuhi, atau menurut jumlah subyek yang terlibat dalam perikatan itu.
Salah satu syarat sahnya perjanjian adalah, Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut.
Kata resiko berarti kewajiban untuk memikul kerugian jikalau ada suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang dimaksudkan dalam perjanjian.
Wansprestasi timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang diperjanjikan.
Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUHPerdata.
Untuk dapat dikatakan suatu “keadaan memaksa”(over macht atau force majeur), selain keadaan itu di luar kekuasaannya si berhutang dan memaksa keadaan yang telah timbul itu juga harus berupa suatu keadaan yang tidak dapat diketahui pada waktu perjanjian itu dibuat setidak”nya tidak di pikul resikonya oleh si berhutang.

DAFTAR PUSTAKA
o Subekti, 1954. Pokok-pokok Hukum Perdata. PT Intermasa: Jakarta.
o Masdoeki Muhammad. 1956. Pengantar ilmu hukum. Ghalia indonesia: Jakarta.
o Soetami Siti, 1992. Tata Hukum Indonesia. PT Refika Aditama: Bandung.
o Setiawan, R. 1977. Pokok-pokok Hukum Perikatan. Binacipta: Bandung.
o Kansil, 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tatat Hukum Indonesia. cet8. Balai Pustaka: Jakarta.

hukum perdata


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam hukum perdata terdapat pengertian tentang perikatan. Perikatan tersebut meliputi sistem buku III BW, sumber perikatan, asas asas dalam hukum perikatan, macam – macam perikatan, syarat sah perjanjian, wanprestasi dan keadaan memaksa dan resiko.
Oleh karena itu didalam makalah kami ini akan membahas secara singkat
tentang  pengertian tersebut.

1.2 Pokok Pembahasan Masalah
Berangkat dari mengetahui tentang perikatan dalam hukum perdata di Indonesia,
Maka kami tertarik untuk membahas perihal :
1. Pengertian perikatan
2. Sistem buku III BW
3. Asas-asas dalam hukum perikatan, macam-macam perikatan
4. Syarat sah perjanjian, wanprestasi, keadaan memaksa dan resiko.

1.3 Tujuan Pembahasan Masalah
Adapun tujuan pembahasan masalah, yaitu untuk mengetahui dan menambah pengetahuan tentang perikatan dalam hukum perdata di Indonesia.









BAB II
PEMBAHASAN

HUKUM PERIKATAN
A. Pengertian Perikatan
Perikatan dalam bahasa Belanda disebut “Ver Bintenis”. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti, hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli barang. Dapat berupa peristiwa, misalnya lahirnya seorang bayi, meninggalnya seseorang. Dapat berupa keadaan, misalnya, letak rumah yang bersusun. Karena hal yang mengikat itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang-undang atau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi “akibat hukum”. Dengan demikian, perikatan yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu disebut hubungan hukum. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang hukum pribadi(pers onal law). Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan adalah suatu hubungan dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.
Beberapa sarjana juga telah memberikan pengertian mengenai perikatan yaitu:
Pitlo memberikan pengertian perikatan yaitu suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi.
pengertian perikatan menurut Hofmann adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang dari padanya (debitur atau pada debitur) mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu  terhadap pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu.
Istilah perikatan sudah tepat sekali untuk melukiskan suatu pengertian yang sama yang dimaksudkan verbintenis dalam bahasa Belanda yaitu suatu hubungan hukum antara dua pihak yang isinya adalah hak dan kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Dalam beberapa pengertian yang telah dijabarkan di atas, keseluruhan pengertian tersebut menandakan bahwa pengertian yang dimaksud adalah suatu pengertian yang abstrak, yaitu suatu hal yang tidak dapat dilihat tetapi hanya dapat dibayangkan dalam pikiran kita. Untuk mengkonkretkan pengertian perikatan yang abstrak maka perlu adanya suatu perjanjian. Oleh karena itu, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah demikian, bahwa perikatan itu dilahirkan dari suatu perjanjian.
B. Sistem Buku III B.W.
Buku III B.W. terdiri atas suatu bagian umum dan suatu bagian usus. Bagian umum memuat peraturan” yang berlaku bagi perikatan umumnya, misalnya tententang bagaimana lahir dan hapusnya perikatan, macam” perikatan dan sebagainya. Bagian husus memuat peraturan” mengenai perjanjian” yang banyak di pakai dalam masyarakat dan yang sudah mempunyai nama” tertentu misalnya jual beli, sewa menyewa, perjanjian perburuan dsb.
Buku III itu menganut asas “kebebasan” dalam hal membuat perjanjian (beginsel der kontractsvrijheid). Asas ini dapat di simpulkan dari pasal 1338, yang menerangkan bahwa segala perjanjian yang di buat adalah sah, berlaku sebagai UU bagi mereka yang membuatnya. Sebenarnya yang di maksudkan oleh pasal tersebut adalah tidak lain dari pernyataan bahwa tiap perjanjian mengikat kedua belah pihak. Tetapi dari peraturan ini, dapat di tarik kesimpulan bahwa orang leluasa untuk membuat perjanjian apa saja, asal tidak melangar ketertiban umum atau kesusilaan. Tidak saja orang leluasa untuk membuat perjanjin apa saja, asal tidak melanggar ketertiban umum yang di atur dalam bagian khusus buku III, tetapi pada umumnya juga di bolehkan menyampingkan peraturan-peraturan yang termuat dalam buku III itu. Dengan kata lain peraturan-peraturan yang di tetapkan dalam buku III B.W. itu hanya disediakan dalam hal para pihak yang berkontrak itu tidak membuat peraturan sendiri. Dengan kata lain peraturan-peraturan dalam buku III, pada umumnya merupakan “Hukum Pelengkap” (aanvullend recht), buka hukum keras atau hukum memaksa.
System yang di anut oleh buku III itu juga lazim dinamakan system “terbuka”, yang merupakan sebaliknya dari yang di anut oleh buku lll perihal hukum perbendan. Disitu orang tidak di perkenankan untuk membuat atau memperjanjikan hak-hak kebendaan lain, selain dari yang diatur dalam B.W. sendiri. Disitu dianut system “tertutup”.
      C.Sumber Perikatan
o Perikatan (Pasal 1233 KUHPerdata): Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
o Persetujuan (Pasal 1313 KUHPerdata): Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
o Undang-undang (Pasal 1352 KUHPerdata): Perikatan yang lahir karena undang-undang timbul dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.
D. Asas-asas Dalam Hukum Perikatan dan Macam-macam Perikatan
a) Azas-azas dalam hukum perikatan
Asas-asas dalam hukum perikatan diatur dalam Buku III KUHPerdata, yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.
Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Asas konsensualisme Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas. Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata.
b) Macam- macam Perikatan
Dalam kenyataanya ada beberapa macam perikatan yang dikenal dalam masyarakat menurut syarat yang ditentukan oleh pihak- pihak, atau menurut jenis prestasi yang harus dipenuhi, atau menurut jumlah subyek yang terlibat dalam perikatan itu.

a) Perikatan bersyarat, perikatan yang timbul dari perjanjian dapat berupa perikatan murni dan perikatan bersyarat.
b) Perikatan dengan ketetapan waktu
c) Perikatan alternative
d) Perikatan tanggung menanggung
e) Perikatan yang dapat dan tidak dapat dibagi
f) Perikatan dengan ancaman hukuman
g) Perikatan wajar
E. Syarat sah Perjanjian, Wanprestasi, Keadaan Memaksa dan Resiko
a.) Sayarat sah perjanjian
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah
1. Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut.
2. Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian Cakap untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak harus cakap menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan.
3. Mengenai Suatu Hal Tertentu Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak.
4. Suatu sebab yang Halal Suatu sebab yang halal, artinya isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.
b.) Perihal resiko wanprestasi, dan keadaan memaksa
a. Perihal resiko
Kata resiko berarti kewajiban untuk memikul kerugian jikalau ada suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang dimaksudkan dalam perjanjian. Bagaimanakah diaturnya resiko ini dalam B.W.?
Pasal 1237 menetapkan bahwa dalam suatu perjanjian mengenai pemberian suatu barang tertentu, sejak lahirnya perjanjian itu barang tersebut sudah menjadi tanggungan orang yang berhak menagih penyerahannya.
Menurut pasal 1460 dalam hal suatu perjanjian jual beli mengenai suatu barang yang sudah di tentukan sejak saat ditutupnya, perjanjian barang itu sudah menjadi tanggungan si pembeli meskipun ia belum di serahkan dan masih berada si tangan penjual.
Minilik dalam riwayatnya menjelaskan bahwa dalam pasal 1460 tersebut oleh pembuat undang” dikutip dari code civil. Tetapi dalam code civil apa yang di cantumkan pada pasal 1460 itu memang tepat, karena di situ berlaku peraturan bahwa dalam hal perjanjian jual beli, hak milik atas barang berpinda seketika pada saat di tutupnya  perjanjian. Jadi tidak seperti di dalam system B.W. dimana masih harus dilakukan penyerahan untuk memindahkan hak milik dari penjual kepada si pembeli.
b. Wanprestasi dan Akibat-akibatnya
Wansprestasi timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang diperjanjikan.
Adapun bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;
3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Akibat-akibat Wansprestasi
Akibat-akibat wansprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wansprestasi , dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni
1. Membayar Kerugian yang Diderita oleh Kreditur (Ganti Rugi)
Ganti rugi sering diperinci meliputi tinga unsur, yakni
a. Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak;
b. Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibat oleh kelalaian si debitor;
c. Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.
2. Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian
Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata.
Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan.
3. Peralihan Risiko
Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH perdata.
c. Keadaan memaksa
Untuk dapat dikatakan suatu “keadaan memaksa”(over macht atau force majeur), selain keadaan itu di luar kekuasaannya si berhutang dan memaksa keadaan yang telah timbul itu juga harus berupa suatu keadaan yang tidak dapat diketahui pada waktu perjanjian itu dibuat setidak”nya tidak di pikul resikonya oleh si berhutang. Jika siberhutang berhasil dalam membuktikan adanya keadaan yang demikian itu, tuntutan si berpiutang akan di tolank oleh hakim dan si berhutang terluput dari hukuman baik yang berupa penghukuman untuk memenuhi perjanjian maupun penghukuman untuk membayar penggantian kerugian.
Keadaan memaksa ada yang bersifat mutlak (absolut) yaitu dalam halnya sama sekali tidak mungkin lagi melaksanakan perjanjian (misalnya barangnya terhapus karena bencana alam), tetapi ada juga yang bersifat tak mutlak (relatief), yaitu berupa suatu keadaan di mana perjanjian masih dapat juga di laksanakan, tetapi dengan pengorbanan yang sangat besar dari pihak si piutang. Misalnya harga barang” yang masih harus di datangkan oleh si penjual, sekonyol” membumbung sangat tinggi atau dengan tiba” oleh pemerintah di keluarkan suatu peraturan yang melarang dengan ancaman hukuman untuk mengeluarkan suatu macam barang dari suatu daerah yang menyebabkan si berhutang tidak dapat menggirimkan barangnya kepada si berpiutang.




















BAB III
PENUTUP
Perikatan dalam hal ini berarti, hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli barang.
Buku III itu menganut asas “kebebasan” dalam hal membuat perjanjian (beginsel der kontractsvrijheid). Asas ini dapat di simpulkan dari pasal 1338, yang menerangkan bahwa segala perjanjian yang di buat adalah sah,
Perikatan (Pasal 1233 KUHPerdata): Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
Dalam kenyataanya ada beberapa macam perikatan yang dikenal dalam masyarakat menurut syarat yang ditentukan oleh pihak- pihak, atau menurut jenis prestasi yang harus dipenuhi, atau menurut jumlah subyek yang terlibat dalam perikatan itu.
Salah satu syarat sahnya perjanjian adalah, Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut.
Kata resiko berarti kewajiban untuk memikul kerugian jikalau ada suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang dimaksudkan dalam perjanjian.
Wansprestasi timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang diperjanjikan.
Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUHPerdata.
Untuk dapat dikatakan suatu “keadaan memaksa”(over macht atau force majeur), selain keadaan itu di luar kekuasaannya si berhutang dan memaksa keadaan yang telah timbul itu juga harus berupa suatu keadaan yang tidak dapat diketahui pada waktu perjanjian itu dibuat setidak”nya tidak di pikul resikonya oleh si berhutang.

DAFTAR PUSTAKA
o Subekti, 1954. Pokok-pokok Hukum Perdata. PT Intermasa: Jakarta.
o Masdoeki Muhammad. 1956. Pengantar ilmu hukum. Ghalia indonesia: Jakarta.
o Soetami Siti, 1992. Tata Hukum Indonesia. PT Refika Aditama: Bandung.
o Setiawan, R. 1977. Pokok-pokok Hukum Perikatan. Binacipta: Bandung.
o Kansil, 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tatat Hukum Indonesia. cet8. Balai Pustaka: Jakarta.